Kamis, 11 Juni 2009

Tessa 3

I met him that day
hey, don't you look at me like that !!
he's not like you're thinking
full of thoughts and ideas
he has the most fabulous eyes I've ever seen

I met him that day
what's wrong with me back then ?
why my knees shakin ?
I barely could look him in the eyes
when he took my hands

I met him that day
starting our journey together
never been like this before
the days full of laugh
when sun dancing in the sky
or nights cryin' on my pillow
wacthing the moon bleeding

I met him that day
never thought this moment came
what should I do now ?
don't wanna lose him
yet I'm afraid to confess

I met him that day
destiny ?
or tragedy ?

(taken from Tessa's diary, she gave me few page of her diary that night. The night she told me everything)


Part one : TESSA

Kepalaku sakit. Seperti otakku terlempar ke sana kemari setiap kali aku menggerakaan leher. Segelas Screwdriver yang kuminum tadi masih saja menunjukkan pengaruhnya. Aku memang tidak biasa minum, hanya saja malam ini aku merasa ingin mabuk. Malam yang melelahkan, dan menyakitkan. Aku memejamkan mataku, kejadian di lift tadi kembali melintas dalam pikiranku. Ooohhh, mengapa Tuhan sedemikian kejamnya sampai Nick harus melihat aku malam ini ? Begitu banyak cafe di Jakarta, mengapa kami bertemu di cafe yang sama ?? Begitu ramai orang di sana, mengapa ia harus melihatku ?

Di sampingku duduk seorang asing. seorang yang tidak kukenal sama sekali sampai malam tadi. Seorang yang telah menikmati tubuhku malam ini. Aku merasa kotor, ingin rasanya cepat sampai ke rumah sehingga aku bisa membersihkan diriku. Di luar masih gerimis rintik-rintik sisa hujan lebat semalam. Siapa gadis yang bersama Nick tadi ?? Kekasihnya kah ? Haruskah aku marah melihatnya berdua denganmu Nick ?? Suara-suara bergema di kepalaku. Tidak Tessa, sadarlah. Memangnya siapa dirimu ?? Suara lain mengiang, mengingatkan keadaan diriku.

"Sudah hampir sampai nih, yang mana tempatmu ?" terdengar suara orang asing itu.
Mobilnya berjalan perlahan mendekati tempat kontrakanku, hanya tinggal satu gang lagi. Tidak, jangan sampai dia mengetahui tempatku.

"Di sini saja, aku ingin membeli sesuatu dulu" kataku ketika mobilnya melewati warung Mbok Sum, janda beranak satu yang merupakan langgananku kalau kehabisan sesuatu.
"Di sini ?? Apakah aman ?" keningnya berkerut mendengar permintaanku.
"Tidak apa, warung itu adalah langgananku, dan aku sudah terbiasa dengan lingkunganku" aku berkeras.
"Baiklah" ia menyerah. "Dan terima kasih untuk malam tadi".
Aku menganguk sekilas dan menyaksikan mobilnya meluncur pergi ditelan kegelapan malam.

Aku melewati warung Mbok Sum. Bisa kulihat ia tidur di bagian dalam warungnya. Terharu aku melihatnya. Betapa berat perjuangan perempuan tua itu mencari makan di Jakarta ini. Untunglah anaknya sudah mulai bekerja sebagai loper koran, bisa diharapkan untuk membantu ibunya. Aku tidak jadi membeli permen untuk menghilangkan rasa tidak enak di mulutku. Biarlah, aku toh sudah hampir sampai, tinggal menyikat gigiku untuk itu.

Di remang malam pagar rumah kontrakanku sudah terlihat. Lalu tong sampah yang kepenuhan. Lalu, hey, tidak salahkan mataku ? Agak jauh di samping tong sampah, di bawah kerimbunan pohon akasia, sebuah mobil jip berwarna hijau parkir miring dengan satu roda di atas trotoar. Rupanya si empunya buru-buru, atau mabuk.
Aku mendekat dengan ragu-ragu. Sticker V-Kool di sisi pemgemudi itu serupa benar dengan milik seorang yang kukenal baik. Perasaanku semakin tak keruan ketika membungkuk untuk membaca nomor polisi mobil tersebut. B 24......

My God, ternyata benar dia !!! Apa yang dilakukannya pukul setengah 4 pagi di sini ?
Kuperiksa mobil tersebut. Kosong. Dengan risau kulihat sekelilingku, di bawah pohon, di kolong mobil, bahkan di selokan. Tapi tak kutemukan juga orangnya. Dengan setengah berlari aku menuju pintu pagar. Terkunci, tepat seperti ketika kutinggalkan tadi. Lalu kemana dia ? Cemas, lekas kubuka pintu pagarku. Dengan buru-buru kukunci kembali pintu pagar. Kucoba menelepon Nick dari cell-phone ku. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok tubuh tergeletak di depan pintu rumah. Aku ingin menjerit, ketika tiba-tiba nampak nyala hijau samar dari bagian saku tubuh itu diikuti lagu Mission Impossible, tepat ketika cellphoneku mendapatkan nada dering.

"Nick !!!" aku berlutut di samping tubuh lunglai itu. Wajah Nick tampak pucat, matanya terkatup rapat. Dalam keadaan tidak sadarpun aku bisa melihat jelas gurat-gurat kesedihan di wajahnya. Karena akukah ? Ingin menangis aku rasanya. Baju dan rambutnya basah kuyup. Botol minuman keras yang sudah hampir kosong tergeletak agak jauh dari kaki Nick, ada bekas muntah di situ. Dengan sebelah tangan berusaha membuka pintu, tanganku satunya menahan kepala itu dalam pangkuanku. Pintu terbuka dengan derit tajam. Kutepuk pelan pipinya, "Nick, come on. Wake up Nick, you scared me". Lega hatiku ketika akhirnya mata itu membuka, merah dan berair.

"Uhh.... Tess.... kau bersamanya........ aku..... menunggumu" gumamnya kacau.
"Shhhh...... Nick, ayo bangun. Kau bisa sakit di luar" kucoba menariknya bangun.
"Aku......dia bukan....apa-apa......cuma kamu Tess"
Berdarah hatiku mendengarnya. Tidak ada yang lebih jujur daripada perkataan orang mabuk ketika menyesali sesuatu.
"Aku tidak layak untuk itu Nick, ayo bangun. Kita bicarakan nanti".
Sedikit kupaksa, akhirnya ia berusaha berdiri. Dengan susah payah kuseret tubuh kami berdua. Bisa kurasakan berat badan Nick yang bersandar pada lenganku.

******

Entah bagaimana, aku berhasil membawanya ke kamar mandi kamarku. Kubaringkan Nick di bathtub. Kunyalakan water heaterku dan kubuka keran airnya, lalu dengan penuh perjuangan aku berhasil membuka pakaian dan celananya. Kulitnya pucat karena kedinginan. Semoga tidak terkena pnemonia, pikirku. Dengan gayung, kusendok air yang mengalir dari keran. Air hangat yang kusiramkan ke tubuhnya mulai bekerja. Berangsur-angsur rona merah menjalari tubuhnya. Aku memandikan Nick malam itu, seperti seorang bayi yang tidak berdaya, penuh kepasrahan kepada ibunya. Tuhan, betapa aku mencintainya. Kulepaskan pakaianku, lalu masuk ke dalam bathtub. Berimpitan dalam bathtub itu, kubasuh tubuhku di bawah pandangan memuja Nick yang terlihat jelas di matanya. Ia tidak berkata sepatahpun. Matanya terus mengikuti setiap gerakanku.

Setelah selesai di kamar mandi, aku memapah Nick yang sudah lebih kuat sekarang ke kamarku. Kusuruh ia berbaring di ranjangku sementara aku menyiapkan kopi panas dan dua tangkup roti selai. Yah, aku tidak suka susu, jadi tidak ada susu di rumahku. Terpaksalah, tak ada susu kopi pun jadi. Sementara menunggu coffee maker-ku bekerja, aku duduk di pinggiran ranjang. Kubelai rambutnya, wajahnya, pipinya, merasakan setiap inci wajahnya, wajah yang terkadang membuat malamku penuh air mata. Nick tidur meringkuk di balik selimut, dengan tangan kananku dipeluk erat di dadanya, tangan kiriku yang bebas bermain di wajah dan rambutnya. Wish this could last forever. Aku ingin selalu menjaganya, berada di sampingnya bila dia membutuhkanku, menjadi tempatnya menumpahkan duka dan tangis. Entahlah, mungkinkah hal itu terjadi ?? Setelah apa yang terjadi malam tadi ?? Di luar hujan kembali deras. Bisa kudengar bunyi titik air menghantam genting. Untunglah aku pulang lebih cepat, kalau tidak mungkin Nick masih di luar, kehujanan dan kedinginan menungguku.

Kubangunkan Nick ketika kopi sudah matang, setengah kupaksa akhirnya ia mau juga menghabiskan roti dan kopi yang kusiapkan untuknya. Lucu melihatnya mengatupkan mulut rapat, kepalanya menggeleng kuat ketika aku berusaha memasukkan gigitan terakhir roti selai ke mulutnya. Tentu saja akhirnya aku yang menang, Nick tidak akan sampai hati membuatku menangis. Seorang gentlemen sejati, dan seorang anak kecil yang haus belaian sayang. Akhirnya kopi dan roti habis juga. Matanya tidak merah lagi, dan sorot matanya yang kukenal baik sudah kembali. Kami berpandangan dalam diam. Aku tahu, saat ini pasti akan tiba. Moment yang selalu membuatku bermimpi buruk. Tiba-tiba aku merasa kecil, mataku menghindar tatapannya. Aku tahu, ia ingin penjelasan atas kejadian semalam. And he deserve one. Perutku tiba-tiba sakit.

"Tess, you remember when we first met ??" tanyanya memecah kesunyian.
"Clearly. Hujan, Hoka-Hoka Bento, kopi, ekkaddo, salad dan sup miso" mau tak mau aku tersenyum membayangkan pertemuan kami yang pertama.
Ia menyeringai, "Kau lupa lemon tea. Tapi bukan itu yang kumaksud. Apakah kau pernah membayangkan kita jadi seperti ini sebelumnya Tess ?".
"I mean, resminya kita teman, but there's so much things involved here. I love you. You love me. Why can't we be more than friends ??" sambungnya lagi. Kali ini tidak ada senyum di wajahnya. Berbahaya.
"Cause it's better this way Nick" jawabku.
"So you can go out with other guy ? That stupid man on elevator whose trying to touch your breast ???" terdengar suaranya naik satu oktaf. Mata Nick mulai berkilat marah.
"Nick, don't yel at me. If you keep that tones, get out of my sight. If you want explanation, keep your voices low" jawabku tenang. Perdebatan panjang penuh dengan bentakan adalah hal terakhir yang kuinginkan. Bila harus berakhir di sini, biarlah. Aku pasrah. Aku tak bisa lagi menutupi rahasia ini, tidak terhadapnya.
Hening sejenak. Tampak Nick berusaha menguasai dirinya. Lalu ia menganguk, "Okay. Cukup fair. But I have one condition".
"Apa ?" tanyaku.
"Sini, selimutan bareng-bareng" katanya lucu.
Aku tersenyum. Nick memang unpredictable. Sesaat lalu ia marah-marah, sekarang sudah bisa bercanda. Aku menyusup ke dalam selimut, berbaring di sebelahnya. Dengan tangan kanan aku meraih tombol lampu ruangan. Sekarang penerangan yang ada hanyalah lampu tidur kecil dengan sinar kuningnya yang lembut.

"Okay, let's get started" kataku.
"I don't care about your past, Tess. Only from the time we're together. Rasanya cukup fair kalau aku berhak tahu hidupmu. You change my life since that rainy day, 6 month ago, when first i met you." katanya tenang.
"Okay Nick. Ready ?"
Ia menganguk, maka kuceritakan semuanya.

******

Why, you run away from me ?
I'm not gonna hurt you
let me reach your heart
here's mine
keep it for me

why you're crying ??
people look down at you ?
a buch of hypocrite !!
to hell with them !
ssshhh baby, don't cry
I'm here now
share the pain with me

even a sinner need love
I'm sinner, too
you and i are the same
I'll take care of your heart
never let it breaks
won't let it loose
please ???
will you trust me ??


Part two : NICK.

Wanita itu melepaskan sackdress hitamnya perlahan, meninggalkan sebentuk garis hitam melintang di punggungnya yang putih. Tangannya menggapai ke belakang, melepas secarik kain yang menyangga dua bukit di dadanya. Tulang belikatnya bergetar menahan dinginnya AC. Kakinya yang panjang melangkah perlahan. Di depannya, seorang pria terbaring di atas ranjang. Telanjang. Matanya memandang penuh nafsu pemandangan yang tersaji di depannya. Napasnya terengah. Panas. Nafsunya bergolak. Sang naga menggeliat. Keras. Si gadis menunduk. Rambutnya sebahu, jatuh menyembunyikan wajahnya. Tangan si pria meraih sang gadis. Ditariknya tubuh langsing itu ke bawah himpitan tubuhnya sendiri. Butiran peluh berkilauan memantulkan cahaya lampu. Mulutnya mencari sumber air kehidupan di bukit penuh pesona tersebut. Kering. Tentu saja. Kehidupan belum lagi terbentuk di rahim sang gadis. Si pria dengan rakus menghisapnya, tak perduli rintihan pedih sang gadis. Kedua tangannya meluncur ke bawah, melucuti selubung hitam yang menutupi lembah berhutan kelam. Si pria terpana, ilusi membawanya terbang tinggi. Ia buta, bukan keindahan yang tampak. Kenikmatanlah yang terbayang. Matanya tertutup oleh nafsu, pikirannya kabur terselubung kabut birahi. Sang gadis tergolek pasrah di bawah tindihannya. Sang naga menari ganas, menyelusuri hutan dan lembah, terbang menghindar di angkasa. Ketika ditemukan apa yang dicarinya, ia terhenyak, sang naga menghujani hutan dan lembah tersebut dengan lava panasnya. Sang gadis menyibakkan rambutnya yang hitam, lembut bagai sutra. Wajahnya terlihat jelas sekarang.........

"Tidaaaaaaakkkkk !!!!" Aku menjerit keras. Bayangan itu kembali menghantuiku. Mengejarku bagai hantu penasaran. Aku ingin melupakannya. Ingin menghapusnya dari memoriku. Tapi aku tidak bisa. Betapapun aku ingin melupakannya, aku tidak mampu. Aku terduduk di tempat tidur, nafasku memburu. Telepon berdering di samping tempat tidurku. Kuacuhkan. Akhirnya deringan mengganggu itu berhenti. Kucabut batang Mild Seven terakhir yang tersisa di bungkusnya. Dengan tangan masih gemetar kunyalakan Zippo-ku. Kunikmati hisapan demi hisapan taktala asap penuh racun itu memasuki paru-paruku. Pikiranku melayang kembali ke dua minggu yang lalu. Ke malam di mana Tessa menceritakan kisah hidupnya kepadaku. Tessa, hatiku hancur mengingat dirinya. Betapa berat beban yang harus ditanggungnya. Haruskah aku meninggalkannya ? Kalau begitu apa bedanya aku dengan orang-orang yang membayar untuk menikmati tubuhnya ? Tidak. Bukan salahnya menjadi seorang........ahhh, tidak tega aku menyebutkannya. Orang mengutuk wanita seperti dirinya, tapi secara munafik juga mencari-cari kaumnya sebagai pelampias nafsu. Aku mencintainya, bukan hanya tubuhnya. Seutuhnya. Dengan segala kekurangannya. Dan ia mencintaiku, teramat sangat. Ia menangis malam itu, bukan untuk dirinya, untuk diriku. Menangisi hatiku yang hancur karena dirinya. Ia memberikan dirinya untukku. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga hatinya, jiwanya. Dan sekarang mimpi buruk itu terus mengejarku. Aku tidak rela laki-laki lain menikmati tubuh Tessa, tidak Tessa-ku. Aku harus berbuat sesuatu. Kuraih telepon di samping tempat tidurku. Banyak hal yang harus kulakukan hari ini.

"Tidak, tidak Nick. Bukan begitu caranya. Lagipula kau pasti membutuhkannya" dari nada suaranya aku tahu Tessa tersinggung. Bagaimanapun juga aku harus mencoba.
"Tess, bukan maksudku merendahkanmu. Tapi aku tidak ingin membayangkan kau......bersama laki-laki lain" aku mencoba membujuknya untuk menerima sejumlah uang yang kutransfer ke rekeningnya. Pendapatan rutinku tiap bulan.
"Apa perdulimu Nick??? Kau tahu aku seorang pela....."
"Stop !!!! Aku tidak perduli siapa kau, aku hanya tahu aku mencintaimu, aku tidak rela orang lain menikmati tubuhmu. Biar aku membayarmu supaya kau tidak usah..." kata-kataku yang penuh amarah terhenti di tengah jalan ketika tamparan Tessa meledak di mukaku. Kulit mukaku pedih. Tapi tak ada artinya dibanding sakitnya hati ini. Serasa ada ribuan jarum menusuk perutku. Mata Tessa yang indah terbelalak, tangannya menutupi mulut yang mengeluarkan rintihan lirih. Aku masih terdiam mematung ketika ia mendapatkanku dalam pelukannya.
"Nick, ohh, Nick, i'm so sorry" bisiknya penuh penyesalan.
Masih kurasakan panas di mukaku. Belum reda perih di hatiku.
"Tess, jangan katakan aku tidak perduli. I love you, and i never regret it. Did you know how much it hurts me just to think you sleeping with another guy ?? I want you only for myself " kataku pelan.
Kutatap matanya. Tuhan, akan kuberikan semua yang kumiliki agar mata itu bersinar lagi. Agar gadis mungilku tidak menderita lagi. Ia menganguk. Sebutir air mata jatuh menuruni hidungnya yang mancung.
"Baiklah Nick, aku menerimanya. Bukan sebagai bayaran atas diriku karena aku menyerahkan diri kepadamu bukan untuk uang. Untuk persahabatan kita".

Hubunganku dengan Tessa memang aneh. Aku mencintainya. Sedangkan dari dirinya belum pernah sekalipun terucap kata yang satu itu. Ia pun berkeras hubungan kami hanyalah teman baik. Sesuai perjanjian yang kami buat, Tessa tidak lagi pergi bersama orang lain. Kini ia bekerja full time sebagai junior staff accounting di tempatnya yang lama. Aku memasukkan sejumlah uang ke rekeningnya sebagai 'ganti' pendapatannya yang hilang. Tak sebanding tentu saja. Namun aku bertekad untuk melepaskannya dari kehidupannya yang dulu. Dan ya, aku tidur bersamanya. Tapi bukan karena itu aku membutuhkannya. Aku membutuhkan dirinya karena ia selalu mengerti diriku. Persetan apa kata orang mengenai hubungan kami. Hanya satu kata itu yang kutunggu dari mulutnya. Sungguh penasaran aku dibuatnya. Setiap bagian tubuhku mengatakan kalau iapun mencintaiku. Mengapa begitu berat baginya untuk mengucapkan sepatah kata itu ?

*******

Aku terjaga dari tidurku. Udara pagi Megamendung yang dingin terasa menyegarkan setelah sehari-hari menghirup udara kota Jakarta yang penuh debu. Entah mengapa setiap kali pergi ke daerah gunung atau pantai, aku selalu bangun pagi. Sejak mengikuti kegiatan pecinta alam kala SMA, pagi hari di daerah yang masih alami selalu merupakan momen yang paling indah bagiku. Matahari masih malu-malu memancarkan sinarnya, tertutup oleh awan mendung kelabu, embun yang bergayut di pucuk rumput, kabut tipis yang menggantung menyusur tanah. Semuanya terasa begitu sempurna. Di sampingku terbaring Tessa-ku. Rambutnya yang hitam sebahu berantakan di atas bantal. Matanya yang indah terpejam rapat. Wajahnya begitu damai dalam tidurnya. Tak ada yang akan menyangka dibalik wajah damai itu terdapat begitu banyak kepahitan. Kurendahkan tubuhku. Kekecup lembut keningnya. Ia menggeliat. Piyama yang dikenakannya tak mampu menutupi perut dan pinggangnya yang putih. Aku tak tahan melihatnya. Kugelitik pinggang putih itu. Ia menggeliat lagi. Tangannya menarik selimut menutupi daerah yang menjadi incaran tangan nakalku. Aku tertawa. Ia menggumam tak jelas.
"Anak nakal, sini masuk kalau berani" katanya mengantuk.
Tentu saja kuladeni tantangannya. Aku menyusup masuk ke dalam selimut itu. Tanganku bersiap melanjutkan serangan ke pinggangnya. Tapi ia lebih cepat. Tahu-tahu tubuhku sudah ditindihnya. Sia-sia kedua tanganku yang dipegangnya di bawah himpitan punggungku sendiri mencoba berontak. Dengan gemas digigitnya perutku sampai aku berteriak minta ampun, barulah dilepas gigitannya itu.

Kupeluk tubuh langsing itu. Kubenamkan kepalaku di lehernya. Kurasakan kehangatan tubuhnya, begitu mengundang. Aroma tubuhnya membelai hidungku.
"Tess...."
"Hmmm...?"
"You smells good " aku berbisik di telinganya. Ia tersenyum. Masih senyum yang sama yang mempesonaku, yang membuat hari-hariku cerah. Kupuji diriku sendiri untuk membawanya ke sini, ke villa milik keluarga Ken yang dipinjamkan kepadaku. Tessa tampak begitu bahagia di sini. Tidak tampak sekalipun sinar matanya yang keruh selama kami berada di sini.
"Did i taste good too ???" tanyanya menggoda.
"Delicious " jawabku tak kalah nakal. Aku teringat kembali adegan semalam. Bersatunya tubuh dan hati kami. Begitu indah. Saling memberikan kenikmatan kepada partnernya. Baru pada malam tadi Tessa memperbolehkanku melakukannya tanpa pelindung. Selama ini ia selalu memaksaku menggunakannya karena takut aku tertular penyakit. Terharu aku ketika ia mengatakannya kepadaku. Kupeluk ia lebih erat. Kami berdua terdiam, menikmati 'rasa' pelukan tersebut. Aneh juga, bagaimana aku bisa mendeskripsikan 'rasa' yang abstrak itu ?

"Love you girl" bisikku di telinganya.
Seperti biasa, ia hanya tersenyum, kemudian mencium bibirku lembut.
Tiba-tiba ia bangun.
"Nick, ke jacuzzi yuk. Tess ingin mencobanya".
Aku menganguk menyetujui. Bersama-sama kami melangkah ke halaman. Ke sebuah gazebo yang di tengahnya terdapat kolam bulat berdiameter sekitar 1,5 meter. Kolam jacuzzi. Ken telah memberitahuku di mana letak pompa air dan heaternya sehingga aku bisa mengisi dan menghangatkan airnya sendiri tanpa harus memanggil penjaga villa yang tinggal di kampung sebelah. Aku sengaja menyuruhnya pulang pada hari kedatanganku, tidak ingin kehadirannya mengganggu saat kebersamaanku dengan Tessa. Kunyalakan sebatang Mild Seven sambil menunggu penuhnya kolam itu. Sebatang rokok itu kuhisap bergantian dengan Tessa.

Akhirnya air kolam penuh juga. Kutarik lengan Tessa mendekati kolam.
"Nick, Tess ganti baju renang dulu"
"Hmm.....cuma ada kita berdua di sini. Kenapa harus pakai baju segala?"
Mukanya sedikit merah mendengarkan ajakanku. Sebelum ia berubah pikiran kutarik dia masuk ke kolam. Ternyata cukup dalam juga. Kira-kira seleher Tessa kalau ia duduk. Kulepas pakaianku yang basah kuyup. Kulempar begitu saja ke rumput. Demikian juga nasib sama dialami sisa kain yang menempel di tubuhku. Kuraih Tessa. Dalam beberapa detik tubuh atasnya tidak mengenakan apa-apa lagi. Aku berhenti sejenak, mengagumi keindahan yang terpampang di depanku. Kubenamkan mukaku di kehangatan dua bukit kecil di dadanya. Tangannya lembut mengusap kepalaku. Kulepas celana piyama yang digunakannya. Sekarang kami berdua telanjang. Kupeluk dia erat, merasakan setiap inci kulit tubuhku menempel pada tubuhnya. Angin dingin bertiup, membuat pundaknya menggigil. Kutarik dia ke bawah. Terasa kehangatan air kolam melingkupi tubuhku. Semburan air hangat dari lubang-lubang di sekeliling kolam bagai pijatan erotis yang memanjakan tubuh kami berdua. Dalam posisi duduk berdampingan, tangan nakalku kembali menyelusuri tubuhnya. Membelai, mengusap, memijat, menggelitik bagian bagian yang sensitif. Air kolam merendam tubuhnya, menyisakan bagian leher ke atas di atas air.

Tangannya menarik leherku mendekat. Bibirnya bergerak mencari bibirku, antara bersentuhan dan tidak. Menggunakan lidahnya membasahi bibirku, memancing lidahku keluar ikut bermain dengan lidahnya. Di sela-sela ciuman itu masih sempat kubisikkan betapa aku mencintainya. Kudengar rintihan lirih dari tenggorokannya. Tanpa sadar tubuhnya sudah berada dalam pangkuanku. Kurasakan berat tubuhnya pada paha atasku. Kejantananku beradu dengan bukit berambut halus miliknya. Kakinya melingkari pingganggku, tangannya mencakar punggungku. Pinggulnya bergerak, mencari posisi yang tepat agar kejantananku bisa mencapai pasangannya. Tiba-tiba hujan turun. Mula-mula hanya tetes ringan di atas rumput dan atap gazebo, kemudian bertambah deras. Kejantananku memasuki dirinya pelan-pelan. Setiap gerakan tubuhnya memberikan kenikmatan yang tak terlukiskan. Matanya setengah terpejam, alisnya berkerut menahan nikmat yang juga kuberikan kepadanya. Mulutnya mengeluarkan suara-suara rendah dari tenggorokannya. Wajah dalam ekstase. berbeda dengan semalam, kali ini gerakanku dan Tessa tidak tergesa. Ke atas, ke bawah, memutar, semua kulakukan dengan gerakan lembut. Uap air naik menutupi pandanganku, membuat sekelilingku berwarna putih susu.

Entah berapa kali aku hampir sampai ke puncak, tetapi setiap kali aku hendak mencapai orgasme gerakan kami melambat, menunda puncak kenikmatan yang menghampiri diriku. Tanpa kata-kata. Hanya erangan dan rintihan yang menjadi komunikasi kami. Heran, darimana ia tahu apa yang kumaksud dalam setiap eranganku. Dan darimana aku tahu apa yang diinginkannya hanya dengan mendengar rintihannya. Tapi itulah yang terjadi. Kilatan petir membelah langit. Kututup mulutnya dengan mulutku. Kubawa kepalanya menyelam ke bawah air. Aku tahu ia takut mendengar suara halilintar. Di dalam air mulutku bisa merasakan kepasrahan dirinya. Suara deras hujan tiba-tiba tak terdengar lagi, digantikan bunyi gelegak air yang menyembur. Dalam air seakan waktu berhenti, paru-paru kami berbagi udara yang sama, tubuhnya bergetar. Aku tahu, ia menantikan gelombang kenikmatan melanda dirinya. Demikian juga denganku. Kubuka mataku dalam air yang menggelegak, aku ingin melihat wajahnya ketika orgasme mengahantamnya. Aku sudah tidak mampu bernafas, kuberikan semua persediaan udara dalam paru-paruku kepadanya. Matanya juga terbuka, tepat ketika diriku seakan-akan meledak oleh kenikmatan. Gelegar halilintar terdengar samar dalam air. Tubuhnya mengejang dalam pelukanku. Tubuh kami masih bergerak, memompa semua kenikmatan yang datang melanda.

Seperti ikan dilemparkan ke darat, kami berdua megap-megap ketika kepala kami keluar dari air. Mengisi paru-paru kami dengan udara segar yang membawa aroma hujan. Melayang tinggi, kesadaranku belum kembali sepenuhnya. Bunyi hujan putus-putus terdengar di telingaku. Kilat putih masih sambar menyambar dalam kepalaku. Lalu hening.
"That was.....incredible" kataku terbata-bata di telinganya. Tidak ada kata yang mampu melukiskan keadaan itu dengan tepat. "Thanks".
Ia masih terdiam. Dadanya bergerak naik turun. Hanya matanya memandangku penuh cinta. Kasihku. Aku tahu aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Kami akan bersama selamanya.

Part three : Epiloque.

Dear Nick,
Tess baik-baik saja di sini. Hanya sedikit kedinginan. Bagaimana denganmu ?? Jangan lupa dengan kesehatanmu. Tess akan marah sekali kalau kau sampai sakit Nick. Makan yang teratur dan kurangi rokokmu. Nick, jaga dirimu baik-baik ya.

Kau masih marah kepadaku Nick ?? Perusahaan bersedia mensponsori pendidikanku di sini Nick. Tess pergi tanpa pamit karena aku tahu bila aku bertemu denganmu mungkin sekali pikiranku akan berubah. Maafkan Tess ya Nick.

Ingat ketika kita berdua di Villa ?? It was great Nick. One the best time in my life. Kemudian ketika pulang dari villa kau bertanya apakah aku bersedia hidup denganmu selamanya. Oh Nick, bahagianya hatiku. Betapa inginnya bibir ini menjawab ya. Tess yakin kau akan membahagiakanku Nick. Tess mencintaimu, sayangku.

Kau menangis Nick ?? Jangan menangis, cintaku. Tess pun sedih harus meninggalkanmu. Tapi bukankah kaupun ingin agar Tess meninggalkan kehidupan lama Tess ?? Ini jalan keluarnya Nick. Terima kasih atas segala dukunganmu. Doakan aku berhasil Nick.

Kadang Tess berpikir, apakah kita berdua bisa bersama selalu. Tapi aku terlalu menyayangimu untuk itu. Ketika kau mengenalkan Tess pada orang tuamu mereka belum tahu siapa aku Nick. Relakah mereka membiarkanmu bersamaku ? Tess tidak ingin hubunganmu dan orang tuamu terganggu karena aku. Bagaimana bila suatu saat nanti, bila kita bersama lalu bertemu dengan orang yang pernah bersama Tess ??? Tidak Nick. Saat ini jalan hidup kita bersisian, tapi takkan pernah bertemu. Mungkin nanti Nick, suatu saat bila memang kita ditakdirkan bersama, kita akan bertemu lagi.

Aku pergi Nick, you will always in my heart. Lanjutkanlah hidupmu. Jangan lupakan Tess, sayangku.......

(penggalan e-mail dari Tessa yang kuterima tak lama setelah ia pergi. Au revoir Tess. You'll never leave my heart)

Matahariku telah pergi. Hidupku kembali gelap. Sebagian diriku ikut hilang bersamanya. Semoga dia bahagia, dimanapun ia berada.

I don't want to get off my bed
day by day seems the same
boring
don't know what to do

my head aching
why my mind can't stop shaking
dark voices seduce me
damnmit !!! get the hell out of me

images floating around
can't tell you which is real
that ?? no, maybe this
which one ?

so dark and wide
where should I go ??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar