Kamis, 11 Juni 2009

Cinta di Pohon Karet 2

"Pada sepi yang tiba
Keyakinanku yang rapuh
Kuusik sendiri...
Wajahmu tak tahu berjanji
Dalam sinar baur kabur
Dan bunyi seretan sandal
Kusumpahi engkau
Yang terus membuntutiku
Membuntukan seluruh
perjalananku..."


Hutan karet itu masih seperti dulu. Bau tanah basahnya, getah karetnya, bahkan dangau tempat para pemanen karet beristirahatpun masih ada di tepinya. Neni istriku tampak sesekali merapatkan pegangannya di pinggangku. Langit sangat gelap, mendung menari dengan seenaknya dan membawa udara dingin menerpa perjalanan kami menuju rumah kepala desa tempatku dulu KKN dan motorku dengan usia rentanya nampak terpatah-patah mendaki jalanan yang berbukit. Ah, semoga kami belum terlambat menghadiri pemakaman kepala desa yang baik hati itu.
"Kenapa sih mas... motor butut ini nggak dijual saja. Beli motor Cina juga nggak apa-apa." keluh istriku.
Dan seperti biasanya aku hanya terdiam tak tahu bagaimana cara menerangkannya alasanku sesungguhnya.
"Ha.. ha.. Yok... ini sih sepeda onthel bukan motor" tawa lepas Neva waktu motorku mogok di jalan dekat hutan karet itu saat itu. "Biarin, kenapa kamu mau aku goncengin?" Aku pura-pura marah. Mendengar nada suaraku yang kelihatan kesal. Mata Neva yang bulat segera membelalak dengan lucunya.
"Ah.. kamu nggak asyik. Gitu aja marah" Dia gantian memberengut dan mulutnya terkatup rapat. Garis mukanya mengeras, dahinya mengrenyit. Lho? Aduh gimana nih? Sumpah, aku tidak bermaksud membuatnya tersinggung. Aku kelabakan
"Ngg... anu. Nev... aku... aku... maaf... tadi... ngg" Aku tidak bisa meneruskannya karena tak tahu harus bagaimana. Sungguh mengapa aku begitu takut membuatnya marah, takut dia tak mau lagi bersamaku. Saat aku bergulat dengan kekawatiranku, tiba-tiba sebuah ciuman mendarat di pipiku "Mmuah!" Neva menciumku sambil terkekeh-kekeh geli karena berhasil mengecohku. Antara lega, kaget, senang dan malu. Terlebih beberapa penadah karet yang berpapasan dengan kami nampak jengah dan malu melihat kespontanannya yang tak bosan-bosannya memukauku.

"Nev.. sst.. ntar dilihat orang""Ha.. ha... biarin! ha.. ha... gotcha!Takut aku marah ya? He.. he..." Dia masih ketawa geli. Begitu menggemaskan, ingin rasanya kupeluk erat-erat. Segera kuusap-usap rambutnya yang mulai memanjang dan awut-awutan itu dengan penuh kasih.
"Sayang ya?" tanyanya manja (baru kusadar, dia tidak penah menampakkan kemanjaan ini kepada siapapun selama kami KKN. Beginikah dia sama Don? Persetan! Segera kuusir perasaan buruk ini). Kupandang dalam ke mata lucunya. Aku tahu pasti, dia bisa membaca apa yang terukir indah di dalam hatiku.
Hujan tumpah tanpa terbendungkan lagi. Angin menjadi semakin kencang seolah mengejek motorku yang semakin terseok.
"Nen.. kita berteduh di dangau itu saja" segera kupinggirkan motorku ke dangau di tepi hutan itu. Daun kelapa kering yang menjadi atapnya nampak koyak di beberapa bagian. Tapi masih lumayanlah di pojok sebelah kanan masih ada tempat yang kering.
Sebelum kami duduk di bangku bambu yang sudah tampak lusuh dan banyak sisa pohon kering, kubersihkan bangku itu dengan tanganku, dan dengan ketergesaanku itu mengakibatkan sebuah paku kecil yang menyembul menyayat jari telunjukku. Darah segar segera mengalir.
"Oouch!"
"Yok... aduh... tanganmu berdarah" Neva berteriak dengan kecemasan yang tak dapat disembunyikannya. Segera diambilnya jari telunjukku dan dikulumnya di bibirnya yang tak tersentuh lipstik. Pemandangan di depanku membuatku tak mampu berkata sepatah katapun. Begitu indah, begitu ingin kubekukan dan kubingkai selamanya. Rambut dan mukanya yang basah karena guyuran hujan membuat bibirnya sedikit kebiruan. Celana jeans dengan dengkul sobek plus kaos putihnya basah kuyup dan membuat lekukan di dadanya menjadi sangat jelas. Warna hitam dari branya memberi aksen pada lukisan indah dihadapanku ini. Dengan perlahan dan lembut dikulum dan disedotnya darah dari jariku. Kurasakan di ujung jariku kelembutan lidahnya menyentuh lukaku. Perih yang tadinya begitu kuat menggigit ujung jariku secara perlahan berganti menjadi kehangatan yang menjalari seluruh ujung kepekaanku. Masih kurasakan kebahagiaan yang kuperoleh beberapa hari yang lalu di rumahku saat kami menginap. Aku rindu sentuhannya, aku rindu....

"Nah... sudah mendingankan?" jariku yang dicabut dari mulutnya membuyarkan kenanganku. Ada sedikit rasa kecewa di perasaanku. Tapi rasa maluku mampu menekannya dalam-dalam. Entah, sejak kejadian di rumahku itu, aku merasakan kedekatan yang luar biasa di antar kami. Nevapun semakin jarang membicarakan Don, meski dihadapan teman-temanku seregu dia nampak dengan sengaja melontarkan kerinduannya pada kekasihnya itu dengan ujung mata yang sesekali mencuri pandang ke diriku. Kekasihnya? Siapa? Don? Aku? Aku takut dengan jawaban pertanyaan itu dan aku tidak pernah mempertanyakannya. Aku hanya yakin, Neva juga melakukannya dengan hatinya.

"Hey.. jangan melamun dong, Mas!" sapaan istriku lembut tapi kurasakan ada kejengkelan di dalamnya.
"Nggak... cuma hujan kayak gini pasti lama... kita terjebak di sini nih!" sambil kupeluk istriku.
Ada rasa syukur yang besar saat hujan turun dengan derasnya diiringi angin besar. Neva merapatkan duduknya sambil tak bisa menyembunyikan gigilan dingin yang menerpanya. Sepenuh hati segera kupeluk karunia indah ini dan kuberikan seluruh kehangatan jiwaku padanya. Kurasakan balasan pelukannya begitu lembut tapi tegas. Dengan rasa sayang yang luar biasa kucium rambut basahnya. Nampak dia terpejam menikmati rasa sayangku itu. Tanpa sadar kuteruskan ciumanku di telinganya, dia mengelinjang kegelian, kutelusuri belakang telinganya dengan ujung lidahku, kemudian lehernya. Dia lalu menengok dan dengan hangat diciumnya bibirku. Lidah-lidahnya bermain di rongga mulutku dan tangan kanannya mengambil tangan kiriku untuk diletakkan di atas dadanya.


Hujan yang semakin deras melarutkan percumbuan kami. Ditariknya mulutnya dari mulutku "Yok... tapi nggak usah main ya?". Dengan kelu kuanggukkan kepala. Neva kemudian pindah ke depanku menghadap ke arahku, bra hitam basahnya yang nampak samar di kaos basahnya tepat di hadapanku. Disorongkannya dadanya ke mulutku, segera kulumat kaos basah itu sambil mulutku sesekali menggigit lembut ke dua bukit indahnya. Sambil memekik kecil karena gigitan itu ditariknya kasonya ke atas, nampak bra hitamnya memiliki bukaan di depan. Dibukanya bukaan itu. Ya ampun, kedua bukit itu tegak berdiri dengan puncak hitamnya yang mengeras (entah karena kedinginan atau keinginan). Kulahap habis kedua puncak hitam itu bergantian. Kugigit-gigit lembut dan Nevapun mengelinjang kegelian. Kuremas-remas pantatnya yang tergolong besar itu sehingga dia dengan gerakan yang begitu ekspresif semakin menyorongkan dadanya ke mulutku. Kedua bukit itu makin keras. Tiba-tiba dengan gerakan yang agak kasar ditariknya kedua dadanya dari mulutku. Neva segera berjongkok, dibukanya risleting celana jeansku dan dikeluarkannya kelelakianku, segera dilumatnya kelelakianku dengan gerakan yang menagihkan. Digigit-gigit kecilnya ujung kelelakianku, ditelusurinya batang tubuhnya dengan ujung lidahnya hingga ke pangkal. Gelinjang sensasi kenikmatan yang kurasakan membuatnya mempercepat gerakan makan es krimnya. "Ugh... ah...... akhhhhhhhh... Nev.. ahhhhhhh" tak mampu aku berkata apa-apa. Lavaku sudah mendekati puncak dan Neva akan menekan pangkal batang kelelakianku bagian bawah, tiba-tiba...
Grung... grung... suara mobil membuat kami bagaikan kesetanan segera membenahi baju kami. Dengan napas tersengal, kami segera duduk sambil ngobrol yang tak jelas.

"Mbak.. Mas... bareng aja yuk?" pak lurah yang baik hati itu menghentikan mobil kijang bak terbukanya. Dengan senyum sedikit kecut kami terpaksa numpang mobil itu dengan motor tuaku nangkring di bak belakang.
"Nev.. aku pusing!" bisikku. Neva hanya mengangguk sambil jarinya meremas jemariku.
"Yah... memang hujan seperti ini membuat kita gampang masuk angin, pusing. Nanti sampai di rumah biar ibunya anak-anak bapak suruh ngerokin nak Iyok." Pak lurah yang baik hati itu dengan polosnya menyahut. Aku dan Nevapun berpandangan dengan senyum antara geli dan kecut.

"Kematian adalah tantangan,
Kematian mempertegas kita untuk tida melupakan waktu,
Kematian memberi tahu kita untuk saling mengatakan saat ini juga bahwa....kita saling mencintai..."

Rumah pondokan KKNku juga masih seperti dulu. Dinding batakonya, kedua kamarnya (satu untuk Neva dan Santi, sedangkan yang lainnya untuk Hendra, Made, Sugeng dan aku. Ah... teman-teman sereguku itu juga tak kuketahui rimbanya kini...) kini ditempati keponakan pak lurah yang baik hati itu. Rumah pak lurah hanya beberapa ratus meter dari rumah itu. Bu lurah dengan mata yang masih sembab menyambut kedatanganku dengan keharuan yang mendalam. Kukenalkan Neni, kemudian kusalami dia. Masih kurasakan kehangatan perhatiannya saat mengerokiku dulu ditangannya

"Makanya mas Iyok... mbok motornya diganti saja. Kalo gini kan kasihan mbak Neva nggak bisa nonton ke Salatiga sama mbak Santi dan yang lain. Mereka tadi nunggunya lama lo... mas Made yang ngusulin ninggal. Marah lo dia" sambil sesekali dipijitnya tengkukku. Sambil tersenyum menahan kerokan yang tak kuinginkan ini aku hanya diam saja. Kalau kutanggapi bisa-bisa sampai subuh bu lurah yang masih menyisakan kecantikan masa mudanya ini tak bisa menghentikan obrolannya. Padahal aku begitu ingin segera kembali ke pondokanku menyusul Neva yang tapi pura-pura pamit menyelesaikan persiapan mengajarnya di SMP desa. Akhirnya siksaan kerokan itu berlalu, sambil pura-pura mengantuk karena Procold aku bergegas ke pondokanku.
"Nen.. ini kamarku dulu, dan yang itu kamar Santi dan Neva" waktu kusebut namanya ada kelu yang mnyekat di kerongkonganku. Untunglah keponakan pak lurah segera menyuruh kami minum teh hangat.
"Nev... mau teh hangat?" kuambilkan secangkir teh dari rumah pak lurah, jangan-jangan Neva sakit beneran? Ada rasa cemas yang menyusup saat aku masuk kamarnya dan kulihat dia meringkuk tak bergerak.
"Mau dong" sambil mengeliat bangun dari tidur ayamnya. Syukurlah, dia tak apa-apa. Sesaat setelah menghabiskan teh dia menengadah...
"Yok?" bisiknya
"Ya?"
"Selesain yuk?". Ah.. betapa inginnya aku agar Neni bisa mengutarakan keinginannya seperti dia.
Segera kukunci pintu depan. Dan dengan setengah berlari aku kembali ke kamar Neva. Begitu kubuka kamar, Neva ternyata telah menanggalkan seluruh celana pendek dan kaosnya. Hanya tinggal bra hitam dan celana hitamnya (aku tak tahu kenapa dia begitu tergila-gila warna hitam, hampir seluruh pakaian dalamnya hitam). Dengan reflek kubuka bajuku segera kutubruk dia. Neva sedikit meronta dan itu membuatku semakin bergairah. Tak tahu, rasanya kami terburu-buru, mungkin karena rasa takut ketahuan. Neva segera menanggalkan pakaian dalamnya dan segera memintaku untuk memasukkan kelelakianku di lubang kewanitaannya. Entah, aku justru menunduk dan kuciumi dengan lembut. Bau kewanitaan itu begitu khas, aku belum pernah membauinya.

Dengan reflek kujilati pinggirannya dan benda kecil yang tampak memerah tegang ditengahnya. Neva mengelinjang dengan hebat tangannya sedikit menjambak rambutku dan membenamkan kepalaku semakin dalam ke lubang itu. Aku begitu menikmati permainan ini. Sumpah aku belum pernah melihat gambar atau film seperti ini. Semuanya kulakukan dengan reflek naluriku belaka. Lidah-lidahku semakin liar menari-nari di lubang itu dan kumasukkan semakin dalam dan dalam. Kedua tanganku ke atas memegang bukit indahnya yang semakin keras dan mengeras. Kupelintir kedua puncak hitamnya, kumainkan sampai kurasakan air semakin deras di kewanitaannya. Kujilati air itu, kuhisap, kutumpahi ludahku bercampur dengan air itu. Kuhisap lagi. Kedua puncak hitam bukit indahnya semakin keras kupelintir, kugemggam dengan liar kedua bukit itu, kuremas-remas, kuperas dan...
"aaaahhhhh... oh yes... yes. uh...... ahhhh.." panggul Neva dengan sangat liarnya melakukan gerakan memompa. "Oooohhhhh... Yesss!!!!" dibenamkannya semakin dalam kepalaku ke dalamnya. Ya.. Tuhan.. begitu bahagianya diriku melihatnya begitu puas. Segera kucabut lidahku dan dengan ujung lidahku kujilati seluruh tubuhnya. Neva semakin menggelinjang, kulumat habis kedua bukit indahnya dengan puncak yag begitu keras. Ah... aku tak kuasa menahannya lebih lama dan...
Blesss!!! Kumasukkan kelelakianku ke dalam kewanitaannya. Dipegangnya kedua pantatku dan ditariknya ke dalam lubang itu semakin dalam. Sambil kulumati kedua bukit indahnya, kelelakianku terus mempa dengan rasa cintaku yang luar biasa.
"Yok... ayo... yok... ah... terus... terus.. oh yesssss!" saat itu kusemburkan lava kelelakianku di atas tubuhnya. Segera dioles-oleskannya ke seluruh tubuhnya. Ah betapa cantik dan seksinya dia...
Saat Santi dan teman-temanku pulang, Neva sudah tertidur kelelahan. Dan aku pura-pura nonton TV di rumah pak lurah. Waktu teman-temanku menceritakan betapa hebatnya film yg ditonton. Aku hanya pura-pura kesal dengan kebahagiaan yang tak terkira.
"Mas.. pulang yok.. udah sore nih..."

Angin senja membawaku kembali ke Solo sambil masih terngiang dengan jelas bisikan Neva sesudah mengakhiri permainan kami.

"Aku ini badai dan samudera,
hutan tergelap dan pegunungan terjal dan liar.....
betapa inginnya kualamatkan selalu kerinduanku
pada tempat ini"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar